Jakarta, Jaladrinews.com - Pengamat hukum dan pembangunan nasional Hardjuno Wiwoho menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) perlu segera memanggil pemilik serta jajaran direksi dari 13 perusahaan nasional yang disebut dalam dakwaan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang senilai Rp285 triliun. Hal itu menyusul penetapan Riza Chalid sebagai salah satu tersangka utama dalam jaringan besar tata kelola minyak tersebut.
Sidang perdana kasus ini digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025), dengan menghadirkan empat terdakwa dari internal Pertamina dan anak usahanya: Riva Siahaan (eks Dirut Pertamina Patra Niaga), Sani Dinar Saifuddin (mantan Direktur Feedstock & Product Optimization Kilang Pertamina Internasional), Maya Kusmaya (eks Direktur Pemasaran Pusat & Niaga Pertamina), dan Edward Corne (eks VP Trading Operations).
Agenda sidang berikutnya dijadwalkan pada Senin (13/10/2025) dengan menghadirkan lima terdakwa lain: Yoki Firnandi, Agus Purwono, Muhammad Kerry Adrianto Riza, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadhan Joedo — yang disebut berperan dalam pengaturan transaksi dan distribusi minyak mentah serta solar non-subsidi yang menyebabkan kerugian negara.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), negara dirugikan hingga Rp285,18 triliun akibat praktik manipulasi harga dan penjualan BBM non-subsidi di bawah nilai pasar selama beberapa tahun. Selain individu, 13 perusahaan lokal disebut turut diuntungkan dari transaksi tersebut, di antaranya:
- PT Berau Coal
- PT Adaro Indonesia
- PT Merah Putih Petroleum
- PT Buma
- PT Pamapersada Nusantara
- PT Ganda Alam Makmur
- PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk
- PT Aneka Tambang Tbk
- PT Maritim Barito Perkasa
- PT Vale Indonesia Tbk
- PT Nusa Halmahera Minerals
- PT Indo Tambangraya Megah Tbk
- PT Purinusa Eka Persada
Adapun dua perusahaan asing yang disebut ikut memperoleh keuntungan adalah BP Singapore Pte. Ltd dan Sinochem International Oil Pte. Ltd.
Menurut Hardjuno, pemeriksaan terhadap para pemilik dan pengurus perusahaan itu merupakan langkah hukum penting agar penanganan perkara berjalan seimbang.
“Kalau benar mereka ikut diuntungkan, kesaksian mereka penting untuk menelusuri bagaimana arus dana dan kontrak bisnis dijalankan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Ia menilai, tanpa menghadirkan pihak korporasi yang disebut dalam dakwaan, hubungan antara tindak pidana dan keuntungan ekonomi akan sulit dibuktikan secara menyeluruh.
“Publik menunggu penegakan hukum yang menyentuh semua lapisan, bukan hanya pejabat negara tapi juga korporasi yang menikmati hasilnya,” tegasnya.
Hardjuno juga mengingatkan bahwa kasus ini beririsan dengan praktik lama “mafia minyak” yang selama bertahun-tahun mengendalikan distribusi dan harga BBM di Indonesia.
“Penetapan Riza Chalid sebagai tersangka merupakan sinyal kuat bahwa negara mulai berani membongkar jaringan rente energi lama,” ungkapnya.
Namun, ia menegaskan, langkah itu tidak boleh berhenti pada individu, melainkan harus menelusuri korporasi yang ikut diuntungkan agar publik percaya bahwa penegakan hukum di sektor energi tidak tebang pilih.
“Kasus Rp285 triliun ini bukan sekadar perkara korupsi, tapi ujian moral dan kelembagaan. Negara harus hadir sepenuhnya untuk menutup ruang rente, kolusi, dan permainan harga di sektor energi,” pungkas Hardjuno.









