Jakarta, Jaladrinews – Pajak selalu menjadi isu sensitif di Indonesia. Tak sedikit masyarakat yang merasa terbebani dengan penerapannya. Sepanjang sejarah, polemik perpajakan bahkan pernah menimbulkan kisah tragis, termasuk bagi pejabat-pejabat yang mengurusinya.
Salah satu contoh datang dari Batavia (kini Jakarta) pada masa VOC. Kala itu, terdapat seorang pejabat bernama Qiu Zuguan yang menjabat sebagai kepala lembaga Boedelkalmer. Meski tak setenar gubernur jenderal, posisinya cukup berpengaruh karena langsung berurusan dengan kehidupan masyarakat.
Boedelkalmer sendiri merupakan lembaga yang mengatur harta peninggalan orang-orang Tionghoa di Batavia, khususnya mereka yang kembali ke negeri asal dengan membawa serta asetnya. Qiu bertugas menarik pajak dari aset tersebut, sekaligus mengurus ahli waris maupun peninggalan mereka di Batavia.
Sejarawan Leonard Blusse dalam The Chinese Annals of Batavia (2018) menyebutkan, sejak menjabat pada 1715, Qiu dikenal menyulitkan rakyat dengan berbagai kebijakan pungutan. Hampir setiap aktivitas dikenai pajak. Misalnya, orang Tionghoa yang hendak menikah wajib membayar pajak pernikahan, yang tentu menambah beban keluarga.
Lebih jauh lagi, ketika seseorang meninggal, baik Belanda, Tionghoa, maupun pribumi, keluarga masih harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli sertifikat kematian. Praktik inilah yang membuat masyarakat semakin terbebani, bahkan dalam situasi duka sekalipun.
Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) juga mencatat betapa orang Tionghoa saat itu menjadi sasaran utama pajak. Mereka dipungut pajak kepala dan bahkan kuku. Siapa yang menolak, bisa dikenai denda 25 gulden atau diganjar hukuman penjara.
Tak heran, sosok Qiu Zuguan akhirnya menjadi simbol kebencian warga, terutama komunitas Tionghoa di Batavia. Namun, meski banyak keluhan, rakyat tak mampu melawan kebijakan tersebut selama Qiu masih berkuasa.
Baru setelah Qiu wafat pada Juli 1721, “balas dendam” masyarakat benar-benar terlihat. Tak seperti pejabat lain yang dimakamkan dengan penghormatan, jenazah Qiu justru ditinggalkan begitu saja. Tak seorang pun bersedia mengangkat peti matinya menuju liang lahat, lantaran warga masih teringat betapa beratnya beban pajak yang ia terapkan.
Menurut Blusse, peti mati Qiu bahkan sempat dibiarkan tergeletak di jalan karena tak ada yang mau mengusungnya. Keluarga sudah membujuk warga, tetapi semuanya menolak. Pada akhirnya, mereka harus menyewa orang lokal untuk mengantar jenazah ke kuburan.
Meski akhirnya dimakamkan, kebijakan-kebijakan Qiu tetap membekas di ingatan rakyat. Ia dikenang bukan sebagai pejabat terhormat, melainkan sosok yang menyusahkan masyarakat sepanjang hidupnya.