Jakarta, Jaladrinews - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan permohonan uji formil terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Rabu (17/9/2025).
Dalam putusannya MK menolak seluruh permohonan uji formil terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
"Dalam provisi, Mahkamah menolak permohonan provisi dari Pemohon I hingga Pemohon IV. Dalam pokok permohonan, pertama, menyatakan permohonan Pemohon V dan VI tidak dapat diterima. Kedua, menolak seluruh permohonan dari Pemohon I hingga IV," ujar Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta.
Permohonan uji formil ini diajukan oleh berbagai elemen masyarakat sipil dan mahasiswa.
Di antaranya adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, KontraS, Inayah W D Rahman, dan Fatiah Maulidiyanty. Mahasiswa Eva Nurcahyani juga tercatat sebagai pemohon dalam perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025.
Selain itu, kelompok mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, Universitas Indonesia, dan Universitas Diponegoro turut mengajukan permohonan melalui perkara Nomor 75, 69, 56, dan 45/PUU-XXIII/2025.
Namun, seluruh permohonan tersebut ditolak oleh MK dengan alasan para pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum yang sah.
Dalam pertimbangan perkara Nomor 81, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyampaikan bahwa DPR telah membuka ruang partisipasi publik dalam proses pembentukan revisi UU TNI.
Menurutnya, partisipasi tersebut dilakukan melalui berbagai diskusi publik secara langsung maupun penyebaran informasi secara elektronik.
"Artinya, pembentuk undang-undang telah menyediakan beragam metode atau sarana untuk partisipasi publik," kata Guntur.
Ia menambahkan, tidak ditemukan adanya upaya untuk menghalangi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam proses pembentukan RUU Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004.
Partisipasi tersebut, lanjutnya, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan norma hukum.
Adanya Dissenting Opinion Dari Empat Hakim
Meski mayoritas hakim menolak permohonan, empat dari sembilan hakim konstitusi menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda.
Mereka adalah Suhartyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani.
Keempatnya menilai bahwa para pemohon memiliki kedudukan hukum yang sah dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan mereka, setidaknya untuk sebagian.
"Empat hakim berpendapat bahwa permohonan para pemohon beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut sebagian," ujar Suhartoyo.