Jakarta, Jaladrinews — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong kebijakan penundaan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan. Usulan ini dianggap penting untuk menjaga kelangsungan industri tembakau nasional yang kini tengah berada di bawah tekanan, baik dari sisi produksi maupun penyerapan tenaga kerja.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri, Saleh Husin, menekankan bahwa sektor tembakau merupakan industri padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja dan berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.
“Coba kita pikirkan, apakah ada pengganti pemasukan negara sebesar hampir Rp230 triliun dari cukai tembakau? Apakah ada lapangan kerja alternatif bagi sekitar 6 juta orang yang bergantung pada industri ini?” ujarnya kepada media, Senin (15/9/2025).
Menurut Saleh, kenaikan tarif cukai yang terlalu tajam justru dapat menekan industri legal dan mendorong konsumen beralih ke produk ilegal. Ia juga menyoroti peningkatan peredaran rokok ilegal sebagai dampak dari kebijakan fiskal yang dinilai terlalu agresif.
“Fokus utama seharusnya adalah pengendalian rokok ilegal, karena di situlah akar persoalannya. Kalau cukai terus naik, konsumen pasti mencari alternatif yang lebih murah dan itu biasanya rokok ilegal. Akibatnya, penerimaan negara bisa justru menurun,” tegasnya.
Saleh memperkirakan, jika pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal diperkuat, negara berpotensi mendapatkan tambahan penerimaan antara Rp20 hingga Rp25 triliun per tahun—tanpa membebani industri resmi.
Kadin pun menyambut baik pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut tidak akan ada kenaikan pajak atau kebijakan perpajakan baru dalam waktu dekat. Langkah ini dinilai sebagai sinyal positif bagi dunia usaha, termasuk industri tembakau.
Adik Dwi Putranto, Ketua Umum Kadin Jawa Timur, juga menyuarakan dukungan terhadap moratorium cukai. Menurutnya, kepastian bahwa tidak akan ada kenaikan tarif cukai tembakau akan memberikan angin segar bagi industri yang sebagian besar beroperasi di wilayah Jawa Timur.
“Idealnya, kepastian fiskal itu juga mencakup penundaan kenaikan CHT. Tahun 2024 saja, sektor ini menyumbang Rp216,9 triliun bagi negara. Namun sayangnya, industri juga tengah menghadapi tantangan besar, seperti penurunan produksi dan menyusutnya lapangan kerja,” katanya.
Ia mencatat bahwa sejak 2020, volume produksi turun sekitar 7–9% per tahun, dan serapan tenaga kerja ikut menurun hingga 5%. Sementara itu, rokok ilegal justru semakin marak di pasar.
Menurut Adik, moratorium CHT selama tiga tahun dapat memberikan dampak positif ganda: menjaga stabilitas penerimaan negara serta memberikan ruang bagi industri legal untuk bertahan dan beradaptasi.
“Kebijakan ini bisa jadi win-win solution. Negara tetap menerima pemasukan, karena rokok ilegal bisa ditekan, sementara industri legal tidak semakin terpuruk. Untuk sektor padat karya seperti ini, kebijakan fiskal yang stabil dan berpihak pada investasi sangat diperlukan,” pungkasnya.